Sabtu, 17 September 2011

Tungir Yang (Ternyata) Masih Nomaden

Dimana lagikah kakiku akan berpijak?  Dari begitu banyak kota yang pernah kutinggali tidaklah pernah satupun diantaranya memberikan kepuasan yang kekal, ingin rasanya kaki ini berpindah-pindah tempat, mungkin pengaruh dari kebiasaan nenek moyang dulu yang hidup nomaden sudah memulai sejarahnya kembali di generasiku. sekian lama budaya tersebut hilang dari peredaran. Sudah seperti inilah hidup ini diciptakan. sejarah seperti sebuah roda yang akan berputar kembali, yang baru akan muncul, sedangkan yang lama tinggal menunggu waktu untuk ngetop lagi.

Dalam hidupku, kebiasaan nenek moyang itu serasa muncul kembali, bedanya dulu sejarah diciptakan tanpa celana dalam, kalau sekarang celana dalamku selalu melekat di dalam balutan Jeansku yang lumayan mahal itu. Rasanya tidak akan pernah puas cukup lama tinggal di satu kota. Ingin rasanya selalu pindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, Boker dari satu tempat ke tempat lain, dan cukur kumis dari satu tempat ke tempat lainnya juga.

Tinggal di tanah kelahiran sepertinya bukanlah pilihan yang bagus, selain malu di tetawain tetangga, ga sanggup juga lagi kalau harus bersaing dengan generasi muda disana. Tinggal di kota Siantar juga bukanlah pilihan yang bijak, terlalu banyak preman yang suka memalak, bagaimana mungkin orang yang punya kasih besar seperti saya mampu hidup  disana?
Di kota Medan juga demikian, ga pernah masuk hitungan dari setiap daftar kota yang akan kutinggali,  Terlalu banyak BPK disana, takut kegemukan.

Tinggal di Aceh? Ah…kopinya sudah terlalu banyak kuminum, jadi berikan kesempatan bagi yang lain untuk menikmati tetes demi tetes kopi yang mengalir mulus dari bekas kaus kaki panjang itu. Padang? Boleh juga, tapi sepertinya waktuku yang setahun sudah cukuplah. Ga tega juga lihat pak Meutia untuk kali kedua, salah alamat di hari pernikahannya. Niat hatinya mau meminang si Poniem, apa daya kakinya selalu saja melangkah ke rumah Nadya. 

Bandung? Wah, kota yang selalu menawarkan berjuta kenikmatan. Untuk mereka yang Kuliah dan persekutuan doa memang disinilah tempatnya. Tapi bagi saya yang sudah cukup matang dalam umur maupun berpikir……..huumnnnnnn sepertinya bukan ide yang brillian.
Jakarta? Huhh…haruskah kujelaskan lagi alasanku kenapa tidak berniat tinggal disini?  Selain karna supir angkotnya  menyetir hanya dengan satu tangan sambil ngisap rokok,   kecepatan setara formula one, udah gitu gaya sopir angkot yang satu dan yang lain selalu sama. Apakah ini gaya wajib supir angkot di kota metro? apakah ini gaya seorang sopir metro yang patut kita lestarikan? Bisa jadi.  Makanannya juga pedes-pedes, jadi deh boker gue encer trus bawaannya.

Berbagai alasan inilah yang membuat aku berpikir dan mencoba untuk mencari tempat yang nyaman untuk kutinggali, paling tidak untuk beberapa tahun ke depan. Beruntung aku memiliki teman-teman yang satu visi, akhirnya setelah sekian lama kami merencanakan dan membuat sedikit analisa, terpilihlah Bali menjadi tujuan kami selanjutnya.

Dari beberapa diskusi terpilihlah dua orang yang akan berangkat lebih awal ke Bali untuk melakukan survey, yang satu si gondrong berambut ala Mesias, yang satu lagi si botak berhati Mesias. Sedangkan satu orang lagi, yang tidak mirip sedikitpun dengan Mesias, sudah menunggu disana.

Tanggal 10 september kami berdua pun berangkat menuju bali naik pesawat kelas ekonomi. Sebenarnya kami berusaha mencari kelas bisnis dan mencoba nego untuk mendapatkan tiket yang lebih mahal. apa daya, tiket mahal tidak ditemukan plus maskapai tidak mau menaikkan harga tiketnya, kamipun terpaksa melangkah dengan senyum khas masinis, satu-satunya senyum yang kami miliki saat itu (Parek ya).

Dua jam kemudian kami tiba di bandara Ngurah Rai, setelah mengambil bagasi, kamipun melangkah keluar. Ternyata sesampainya di luar, sepertinya ada suara-suara yang cukup akrap di telinga kami. “Parek sange tunge seribu kali, Pe dua be, parek sange tunge seribu kali, pe dua be, saya bukan politisi busuk tapi saya Saidin Yusuf” suara-suara ini muncul beberapa kali, tapi anehnya saya dan si gondrong tetap saja jalan sambil menghiraukan suara tersebut. Setelah tersadar, kami menoleh ke belakang, oh my goodness, ternyata dia, orang  yang sedikitpun tidak mirip Mesias.

Sorenya, kami menghabiskan waktu di pantai kuta yang terkenal itu, berenang di kolam renang di hotel, makan sambil minum beberapa botol bir. Malamnya kami mengunjungi Sky Garden, diskotek yang pamornya lagi gila-gilanya digandrungi para party lover. Untuk orang bule, bebas masuk tanpa tiket,  tapi untuk orang lokal harus mengeluarkan kocek  50 ribu untuk tiket masuk. Tapi tidak mengapa,  karna dari tiket masuk itu, kita sudah mendapatkan paket minuman. Jadi kalo di hitung-hitung lebih mahal tanpa tiket masuk daripada punya tiket, karna harga minuman dan makanan di dalam diskotek luar biasa mahal.
Kami menikmati puluhan alunan musik sambil menggoyangkan pantat, tak lupa sedikit parek buat para pengunjung. Berbagai macam bule ada disana menikmati musik yang hingar bingar itu. Awalnya hanya beberapa orang lokal yang terlihat tapi lama-kelamaan setelah malam semakin larut, cewe lokal yang entah darimana muncul, mencoba  memperjual belikan barang khusus dewasa, hal ini terlihat dari tampilan luarnya. Capek deh!!
Setelah cukup lelah kamipun pulang ke hotel.  Hiburan memang tidak ada matinya disini!! Oh ya, Denger denger, kami melewatkan tarian tiang seseorang yang kami kenal malam itu, teman yang jenis kelaminnya di ragukan!!

Dua hari setelah di kota ini, kami mencoba untuk menyewa motor. Sebenarnya banyak sekali motor tersedia untuk direntalkan, tapi sepertinya tidak satupun yang rela menyewakan untuk kami. Mungkin karna kami orang lokal, tampang penjahit, dan kelihatan tidak punya uang, hal yang membuat mereka berpikir dua kali. Udah gitu alasannya sama “udah ada yang booking mas” padahal jelas-jelas kami tau bahwa motornya belom laku. Beruntung kami mengenal seseorang yang mau menyewakan motornya untuk disewa perbulan. Susah juga orang bertampang susah liburan ke Bali ini coy.

Daripada menginap di hotel sehari-harinya, kami memutuskan untuk mencari sebuah kamar kost. Setelah mencoba cari-cari di sekitaran pantai kuta, akhirnya nemu satu kost an. Ga enaknya bapak kost-nya bertampang sombong, ngomongnya sedikit kasar plus, ga ada ramah-ramahnya sedikitpun. Hanya satu dari sejuta orang bali yang seperti ini. Aku sedang menunggu waktu yang tepat untuk mencukur kumisnya aja. Tunggu aja ya tungir, ketika tiba waktunya pasti kutungiri kau nanti.

Banyak sekali kesenangan disini, dan kenyataanya banyak juga tantangan, apalagi kalau kocek di kantong pas-pasan. Sepertinya ruang untuk menikmati Bali heaven cukup sempit, apalagi kalau kita tidak cukup mengenal daerahnya cukup baik. Tapi satu hal yang terpatri di hati, bahwa saya tidak berada disini untuk tunduk terhadap semua tantangannya. Ingat bung, aku orang batak yang lahir susah dan sudah terbiasa makan batu. Bukan budaya suku kami menyerah. Tinggal menunggu waktu aja Bali dan teman-temannya kutaklukkan.

Apapun itu, tetap tidak dapat mengubah niat untuk mencoba tinggal, menikmati  dan menumpuk kekayaan dari kota ini. Berharap segala kebaikan berpihak ke kami. Entah apa yang terjadi kedepannya, entah keuntungan apa yang akan menghampiri kami, entah masalah apa yang akan kami hadapi di depan, yang pasti perasaan optimis dan pesimis selalu bergantian menghinggapi pikiran. Tapi hal itupun tak pernah menyurutkan tujuan kami dari awal. Kami sudah bosan hanya sekedar kaya, kami mau kaya dan menikmati hidup senikmat-nikmatnya. Bahkan, masalah yang paling besar dari si komo pun akan kami lewati!!!